Senin, 02 November 2015

PENGGUNAAN RASIO KEUANGAN SEBAGAI PREDIKTOR FINANCIAL DISTRESS


Pada umumnya penelitian tentang kesulitan keuangan atau yang lebih dikenal dengan istilah financial distress menggunakan indikator kinerja keuangan perusahaan. Indikator ini digunakan sebagai prediktor kondisi perusahaan dimasa yang akan datang. Indikator ini diperoleh dengan analisis rasio–rasio keuangan yang terdapat pada informasi laporan keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan. Laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan merupakan salah satu sumber informasi mengenai posisi keuangan perusahaan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan, yang berguna dalam pengambilan keputusan yang tepat bagi perusahaaan (Almilia, 2006).
Sejumlah penelitian terdahulu menggunakan variabel-variabel seperti: Current Ratio (CR), Return On Asset (ROA), Debt Ratio, Current Liabilities/Total Asset (CL/TA) dan Cash Flow from Operation to Total Liabilities (CFFO/TL ) sebagai prediktor financial distress. Sejumlah hasil studi menunjukkan bahwa variabel-variabel ini berpengaruh signifikan serta dapat digunakan sebagai prediktor financial distress (Almilia dan Kristijadi (2003), Almilia (2006), Yuanita (2010), Pasaribu (2008) Widarjo dan Setiawan (2009), Imam dan Srengga (2011) , Hapsari (2012), serta Andre (2012)).
Current ratio memberikan informasi mengenai kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Perusahaan yang memiliki current ratio yang tinggi akan semakin likuid yang artinya perusahaan akan dengan mudah memenuhi kebutuhan jangka pendeknya sehingga semakin kecil pula perusahaan mengalami financial distress. Current ratio juga digunakan sebagai variabel independen dalam penelitian Yuanita (2010) serta Almilia dan Kristijadi (2003). Keduanya mampu membuktikan bahwa penggunaan current ratio berpengaruh secara signifikan terhadap financial distress atau dengan kata lain current ratio bisa digunakan sebagai prediktor financial distress.
ROA menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba dari aktiva yang dipergunakan. ROA yang tinggi menunjukkan efisiensi manajemen asset, yang berarti perusahaan mampu menggunakan asset yang dimiliki dari penjualan dan investasi yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Dalam penelitiannya, Widarjo dan Setiawan (2009) serta Yuanita (2010) berhasil membuktikan bahwa ROA memiliki pengaruh signifikan terhadap financial distress dan dapat digunakan sebagai prediktor financial distress.
Debt ratio mengukur seberapa besar total aktiva yang dimiliki perusahaan dibiayai oleh total hutang. Semakin tinggi debt ratio maka semakin tinggi pula resiko yang dihadapi oleh perusahaan. Ini berarti, semakin tinggi debt ratio maka kemungkinan perusahaan berada pada kondisi financial distress juga semakin tinggi. Debt ratio digunakan oleh Pasaribu (2008) dan Andre (2012) dalam penelitiannya dan berhasil membuktikan bahwa debt ratio berpengaruh signifikan terhadap financial distress, sehingga debt ratio dapat digunakan sebagai prediktor financial distress.
CL/TA mengukur seberapa besar total aktiva suatu perusahaan dibiayai oleh hutang lancar. Semakin tinggi rasio CL/TA maka resiko yang dihadapi perusahaan juga semakin tinggi pula. Dalam penelitiannya, Hapsari (2012) dan Yuanita (2010) menggunakan CL/TA dan berhasil membuktikan bahwa CL/TA berpengaruh signifikan terhadap financial distress, sehingga CL/TA dapat digunakan sebagai prediktor financial distress.
Cash Flow from Operation to Total Liabilities merupakan rasio yang digunakan suatu perusahaan untuk menunjukkan kemampuan membayar total utangnya, dengan jumlah kas dari aktivitas operasi yang ada. Semakin tinggi rasio ini maka semakin tinggi kemampuan perusahaan dalam memenuhi total utangnya dengan arus kas operasi, sehingga semakin kecil pula resiko perusahan mengalami financial distress. CFFO/TL digunakan oleh Imam dan Srengga (2011) serta Almilia (2006) dalam penelitiannya dan berhasil membuktikan bahwa CFFO/TL berpengaruh signifikan terhadap financial distress dan dapat digunakan sebagai prediktor financial distress.
Beberapa penelitian terdahulu pada umumnya menggunakan perusahaan manufaktur sebagai objek penelitiannya. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian terdahulu adalah variabel-variabel independen seperti current ratio, ROA, debt ratio, CL/TA dan CFFO/TL berpengaruh signifikan terhadap financial distress dan dapat digunakan sebagai prediktor financal distress. Meskipun demikian, setiap penelitian memiliki keterbatasan masing-masing. Keterbatasan tersebut terletak pada variabel penelitian, objek penelitian, periode penelitian dan model penelitian.
Sementara itu, penelitian terkait dengan financial distress di sektor pertambangan belum banyak dilakukan. Sebenarnya penelitian di sektor pertambangan pernah dilakukan oleh Cahyono (2012) dengan metode Altman Z-Score. Altman Z-score adalah sebuah formula yang ditemukan oleh Edward I. Altman dalam penelitiannya pada tahun 1968. Formula tersebut dapat digunakan untuk mendeteksi kebangkrutan perusahaan, formula ini dikenal dengan istilah Z-Score.
Z-score adalah skor yang ditentukan dari lima rasio keuangan yang masing-masing dikalikan dengan bobot tertentu dan akan menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan dengan rumus Z-score. Apabila Z-score lebih tinggi dari 2,99, maka perusahaan tersebut termasuk dalam sektor perusahaan non-bankcrupty. Jika Z-score kurang dari 1,81 maka perusahaan tesebut mempunyai kemungkinan bangkrut, sedangkan Z-score antara 1,81-2,99 didefinisikan sebagai zone of ignorance atau grey area.
Pada penelitian Cahyono (2012) variabel WC/TA, RE/TA, EBIT/TA, MVE/BVD, S/TA mempunyai ketepatan 85% sedangkan 15% dijelaskan oleh variabel lain. Hasil dalam penelitian ini masih terdapat miss classification dalam pengelompokan perusahaan yaitu 3 perusahaan diklasifikasikan sebagai kondisi non financial distress, tetapi dalam metode Altman berubah masuk dalam klasifikasi financial distress setelah dilakukan analisis diskriminan karena nilai z-score dibawah cut off point. Kondisi ini menunjukkan adanya inkonsistensi dalam pengklasifikasian perusahaan non financial distress dan financial distress dalam metode Altman Z-score.
Almilia dan Kristijadi (2003) dalam penelitiannya menyatakan bahwa model kebangkrutan Altman tidak dapat digunakan dewasa ini karena beberapa alasan. Pertama, dalam membentuk model ini Altman hanya memasukkan perusahaan manufaktur saja, sedangkan perusahaan yang memiliki tipe lain memiliki hubungan yang berbeda antara total modal kerja dan variabel lain yang digunakan dalam analisis rasio. Dan yang kedua, Penelitian yang dilakukan Altman pada tahun 1946 sampai dengan 1965, tentu saja berbeda dengan kondisi sekarang. Sebagaimana akhirnya proporsi untuk setiap variabel sudah tidak tepat lagi untuk digunakan. Pernyataan ini diperkuat oleh Manurung (2012:101) yang menyatakan bahwa model Altman tidak bisa dipergunakan di Indonesia. Hal ini dikarenakan kasus, data dan sampel yang diteliti di Indonesia berbeda dengan kasus, data dan sampel yang diteliti Altman ketika membuat model kebangkrutan ini.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa sektor pertambangan rentan mengalami financial distress. Kondisi ini harus diketahui oleh perusahaan sejak dini sebagai early warning, agar manajemen dapat melakukan perbaikan. Studi terkait financial distress pada sektor pertambangan perlu dilakukan ulang dengan metode dan model yang berbeda. Mengingat jenis data dan sektor yang akan diteliti berbeda, maka metode Altman Z-score tidak dapat digunakan. Berdasarkan pada studi yang telah dilakukan oleh Yuanita (2010) terkait financial distress, maka penulis akan mengkaji ulang bahasan tersebut dengan beberapa penyesuaian seperti penambahan variabel (debt ratio dan cash flow from operation to total liabilities) serta penggantian proksi yaitu laba bersih dan return on equity menjadi Interest coverage ratio. Adapun judul untuk penelitian ini adalah: “PENGGUNAAN RASIO KEUANGAN SEBAGAI PREDIKTOR FINANCIAL DISTRESS: STUDY EMPIRIS PADA PERUSAHAAN SEKTOR PERTAMBANGAN YANG TERDAFTAR DI BEI”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hay semua, kalau misal aku late respond dan kalian butuh jawaban aku segera. kalian bisa DM aku ya di @veronica_untik

NIKAH NGGAK PAKAI WEDDING ORGANIZER ?, WHY NOT ?

Mungkin buat beberapa orang bakalan milih pake WO alias Wedding Organizer alias Wedding Planner kali ya buat urusin acara nikahan ki...