Pada
umumnya penelitian tentang kesulitan keuangan atau yang lebih dikenal
dengan istilah financial
distress
menggunakan indikator kinerja keuangan perusahaan. Indikator ini
digunakan sebagai prediktor kondisi perusahaan dimasa yang akan
datang. Indikator ini diperoleh dengan analisis rasio–rasio
keuangan yang terdapat pada informasi laporan keuangan yang
diterbitkan oleh perusahaan. Laporan keuangan yang diterbitkan
perusahaan merupakan salah satu sumber informasi mengenai posisi
keuangan perusahaan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan, yang
berguna dalam pengambilan keputusan yang tepat bagi perusahaaan
(Almilia, 2006).
Sejumlah
penelitian terdahulu menggunakan variabel-variabel seperti: Current
Ratio
(CR), Return
On Asset
(ROA), Debt
Ratio, Current Liabilities/Total Asset (CL/TA)
dan Cash
Flow from Operation to Total
Liabilities
(CFFO/TL
)
sebagai
prediktor financial
distress.
Sejumlah hasil studi menunjukkan bahwa variabel-variabel ini
berpengaruh signifikan serta dapat digunakan sebagai prediktor
financial
distress
(Almilia
dan Kristijadi (2003), Almilia (2006), Yuanita
(2010),
Pasaribu (2008) Widarjo
dan Setiawan
(2009),
Imam dan Srengga (2011) , Hapsari
(2012),
serta Andre
(2012)).
Current
ratio
memberikan informasi mengenai kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajiban jangka pendeknya. Perusahaan yang memiliki current
ratio
yang tinggi akan semakin likuid yang artinya perusahaan akan dengan
mudah memenuhi kebutuhan jangka pendeknya sehingga semakin kecil pula
perusahaan mengalami financial
distress.
Current
ratio
juga digunakan sebagai variabel independen dalam penelitian Yuanita
(2010)
serta
Almilia
dan Kristijadi (2003).
Keduanya mampu membuktikan bahwa penggunaan current
ratio
berpengaruh secara signifikan terhadap financial
distress
atau dengan kata lain current
ratio
bisa digunakan sebagai prediktor financial
distress.
ROA
menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba dari aktiva yang
dipergunakan. ROA yang tinggi menunjukkan efisiensi manajemen asset,
yang berarti perusahaan mampu menggunakan asset yang dimiliki dari
penjualan dan investasi yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.
Dalam penelitiannya, Widarjo dan
Setiawan (2009)
serta
Yuanita (2010)
berhasil membuktikan bahwa ROA memiliki pengaruh signifikan terhadap
financial
distress
dan dapat digunakan sebagai prediktor financial
distress.
Debt
ratio
mengukur seberapa besar total aktiva yang dimiliki perusahaan
dibiayai oleh total hutang. Semakin tinggi debt
ratio
maka semakin tinggi pula resiko yang dihadapi oleh perusahaan. Ini
berarti, semakin tinggi debt
ratio
maka kemungkinan perusahaan berada pada kondisi financial
distress
juga semakin tinggi. Debt
ratio
digunakan oleh Pasaribu
(2008)
dan Andre
(2012)
dalam penelitiannya dan berhasil membuktikan bahwa debt
ratio
berpengaruh signifikan terhadap financial
distress,
sehingga debt
ratio
dapat digunakan sebagai prediktor financial
distress.
CL/TA
mengukur seberapa besar total aktiva suatu perusahaan dibiayai oleh
hutang lancar. Semakin tinggi rasio CL/TA maka resiko yang dihadapi
perusahaan juga semakin tinggi pula. Dalam penelitiannya, Hapsari
(2012) dan Yuanita (2010) menggunakan CL/TA dan berhasil membuktikan
bahwa CL/TA berpengaruh signifikan terhadap financial
distress,
sehingga CL/TA dapat digunakan sebagai prediktor financial
distress.
Cash
Flow from Operation to Total Liabilities
merupakan rasio yang digunakan suatu perusahaan untuk
menunjukkan kemampuan membayar total utangnya, dengan
jumlah
kas dari aktivitas operasi yang ada. Semakin tinggi rasio
ini maka semakin tinggi kemampuan perusahaan dalam memenuhi total
utangnya dengan arus kas operasi, sehingga semakin kecil pula resiko
perusahan mengalami financial
distress.
CFFO/TL digunakan oleh Imam dan Srengga (2011) serta Almilia (2006)
dalam penelitiannya dan berhasil membuktikan bahwa CFFO/TL
berpengaruh signifikan terhadap financial
distress
dan dapat digunakan sebagai prediktor financial distress.
Beberapa
penelitian terdahulu pada umumnya menggunakan perusahaan manufaktur
sebagai objek penelitiannya. Kesimpulan yang dapat diambil dari
penelitian terdahulu adalah variabel-variabel independen seperti
current
ratio,
ROA, debt
ratio,
CL/TA dan CFFO/TL
berpengaruh signifikan terhadap financial
distress
dan dapat digunakan sebagai prediktor financal
distress.
Meskipun demikian, setiap penelitian memiliki keterbatasan
masing-masing. Keterbatasan tersebut terletak pada variabel
penelitian, objek penelitian, periode penelitian dan model
penelitian.
Sementara
itu, penelitian terkait dengan financial
distress
di sektor pertambangan belum banyak dilakukan. Sebenarnya penelitian
di sektor pertambangan pernah dilakukan oleh Cahyono
(2012)
dengan metode Altman Z-Score.
Altman Z-score
adalah sebuah formula yang ditemukan oleh Edward I. Altman dalam
penelitiannya pada tahun 1968. Formula tersebut dapat digunakan untuk
mendeteksi kebangkrutan perusahaan, formula ini dikenal dengan
istilah Z-Score.
Z-score
adalah skor yang ditentukan dari lima rasio keuangan yang
masing-masing dikalikan dengan bobot tertentu dan akan menunjukkan
tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan dengan rumus Z-score.
Apabila Z-score
lebih tinggi dari 2,99, maka perusahaan tersebut termasuk dalam
sektor perusahaan non-bankcrupty.
Jika Z-score
kurang dari 1,81 maka perusahaan tesebut mempunyai kemungkinan
bangkrut, sedangkan Z-score
antara 1,81-2,99 didefinisikan sebagai zone
of ignorance
atau grey
area.
Pada
penelitian Cahyono (2012) variabel WC/TA, RE/TA, EBIT/TA, MVE/BVD,
S/TA mempunyai ketepatan 85% sedangkan 15% dijelaskan oleh variabel
lain. Hasil dalam penelitian ini masih terdapat miss
classification
dalam pengelompokan perusahaan yaitu 3 perusahaan diklasifikasikan
sebagai kondisi non
financial distress,
tetapi dalam metode Altman berubah masuk dalam klasifikasi financial
distress
setelah dilakukan analisis diskriminan karena nilai z-score
dibawah cut
off point.
Kondisi ini menunjukkan adanya inkonsistensi dalam pengklasifikasian
perusahaan non
financial distress
dan financial
distress
dalam metode Altman
Z-score.
Almilia
dan Kristijadi (2003)
dalam penelitiannya menyatakan bahwa model kebangkrutan Altman tidak
dapat digunakan dewasa ini karena beberapa alasan. Pertama, dalam
membentuk model ini Altman hanya memasukkan perusahaan manufaktur
saja, sedangkan perusahaan yang memiliki tipe lain memiliki
hubungan yang berbeda antara total modal kerja dan variabel
lain yang digunakan dalam analisis rasio. Dan yang kedua, Penelitian
yang dilakukan Altman pada tahun 1946 sampai dengan 1965, tentu
saja berbeda dengan kondisi sekarang. Sebagaimana akhirnya proporsi
untuk setiap variabel sudah tidak tepat lagi untuk
digunakan. Pernyataan ini diperkuat oleh Manurung (2012:101)
yang menyatakan bahwa model Altman tidak bisa dipergunakan di
Indonesia. Hal ini dikarenakan kasus, data dan sampel yang diteliti
di Indonesia berbeda dengan kasus, data dan sampel yang diteliti
Altman ketika membuat model kebangkrutan ini.
Berdasarkan
uraian diatas,
dapat dikatakan bahwa sektor pertambangan rentan mengalami
financial
distress. Kondisi
ini harus diketahui oleh
perusahaan
sejak dini sebagai early
warning,
agar manajemen dapat melakukan perbaikan. Studi
terkait
financial
distress
pada sektor pertambangan perlu dilakukan
ulang
dengan metode dan model yang berbeda.
Mengingat jenis data dan sektor yang akan diteliti berbeda, maka
metode Altman Z-score
tidak dapat digunakan. Berdasarkan
pada studi yang telah dilakukan oleh Yuanita (2010)
terkait
financial
distress,
maka penulis
akan mengkaji
ulang bahasan
tersebut dengan beberapa penyesuaian seperti penambahan variabel
(debt
ratio
dan cash
flow from operation to total liabilities)
serta penggantian proksi yaitu laba bersih dan return
on
equity
menjadi Interest
coverage ratio.
Adapun judul
untuk penelitian ini adalah: “PENGGUNAAN
RASIO KEUANGAN SEBAGAI PREDIKTOR FINANCIAL
DISTRESS:
STUDY EMPIRIS PADA PERUSAHAAN SEKTOR PERTAMBANGAN YANG TERDAFTAR DI
BEI”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hay semua, kalau misal aku late respond dan kalian butuh jawaban aku segera. kalian bisa DM aku ya di @veronica_untik