Senin, 02 November 2015

PENGGUNAAN RASIO KEUANGAN SEBAGAI PREDIKTOR FINANCIAL DISTRESS

BAB I
PENDAHULUAN
    1. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya, suatu perusahaan didirikan pasti dilandasi oleh tujuan yang jelas, diantaranya adalah mencapai keuntungan yang maksimal atau laba yang sebesar-besarnya, memakmurkan pemilik perusahaan dan pemilik saham dan memaksimalkan nilai perusahaan yang tercermin dari nilai sahamnya. Selain itu, perusahaan didirikan juga tidak lepas dari harapan pemilik bahwa perusahaan akan tetap eksis dalam jangka waktu yang lama. Sayangnya, posisi perusahaan tidak akan terus menerus aman pada posisi yang diinginkan. Ada kalanya sebuah perusahaan akan berada pada fase financial distress (kesulitan keuangan) dan kemudian berada pada fase default (kebangkrutan).
Dalam siklus hidup perusahaan, penurunan kinerja keuangan dapat terjadi karena faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang bisa mempengaruhi penurunan kinerja keuangan suatu perusahaan adalah kondisi ekonomi makro misalnya suku bunga tinggi, inflasi tinggi, fluktuasi nilai tukar yang tinggi, dan lain sebagainya. Sedangkan faktor internal yang bisa mempengaruhi penurunan kinerja keuangan suatu perusahaan di antaranya adalah ketidakefektifan manajerial dalam mengelola perusahaan. Ketidakefektifan ini akan berdampak pada penurunan kinerja keuangan yang akan mengakibatkan kesulitan keuangan.
Perusahaan pasti mempunyai kemungkinan untuk mengalami kesulitan dan besaran kemungkinan tersebut tergantung pada kebijakan yang diambil para pengambil keputusan dan lingkungan perusahaan yang mendukung perusahaan menuju kesulitan keuangan. Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan tidak langsung menuju situasi tersebut tetapi dimulai dari beberapa hal kecil sehingga menuju pada situasi kesulitan keuangan. Masuknya perusahaan ke dalam situasi kesulitan keuangan dimulai adanya pengelolaan yang lemah terhadap perusahaan (poor management). Salah satu bentuk pengelolaan yang lemah yaitu arus kas perusahaan yang tidak terurus dengan rapi. Grambel (2004, dalam Manurung 2012:96-97) menyatakan bahwa arus kas perusahaan mempunyai pengaruh yang besar terhadap terjadinya kegagalan perusahaan.
Kesulitan keuangan atau financial distress pada perusahaan terjadi ketika perusahaan tidak dapat memenuhi jadwal pembayaran atau ketika proyeksi arus kas mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut akan segera tidak dapat memenuhi kewajibannya. Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan ditandai dengan kerugian, hampir kehabisan tunai, memiliki kewajiban–kewajiban yang harus dibayar seperti gaji, biaya bunga pinjaman, biaya operasional rutin, dan biaya–biaya tetap lainnya, dililit hutang, karyawan berseteru dengan top management, mulai ditinggalkan pelanggan karena kualitas layanan yang sangat buruk, mengalami penurunan dalam pertumbuhan, kemampulabaan, dan aset tetap, serta peningkatan dalam tingkatan persediaan relatif terhadap perusahaan yang sehat, melemahnya kondisi keuangan, kreditur yang mulai mengambil tindakan, pemasok yang mungkin tak mengirim bahan baku secara kredit, investasi modal yang menguntungkan dan mungkin harus dilepas, dan pembayaran dividen yang terganggu (Fachrudin, 2008).
Terdapat lima tipe kesulitan keuangan menurut Brigham dan Gapenski (1997, dalam Fachrudin 2008), yaitu economic failure, business failure, technical insolvency, insolvency in bankruptcy, dan legal bankcruptcy. Economic failure berarti perusahaan tidak dapat menutupi jumlah biaya, termasuk biaya modalnya. Business failure terjadi bila bisnis menghentikan operasi dengan akibat kerugian ke kreditur. Technical insolvency (equity insolvency menurut istilah Altman, 1983) adalah ketidakmampuan memenuhi kewajiban lancar ketika jatuh tempo, menunjukkan kekurangan likuiditas secara temporer. Pada kasus Technical insolvency, biasanya kreditur mau membantu melalui restrukturisasi hutang. Insolvency in bankruptcy (bankruptcy insolvency menurut istilah Altman, 1983) tergambar dari nilai buku hutang yang melebihi nilai pasar aset. Masalah Insolvency in bankruptcy ini bersifat permanen dan mengarah pada likuidasi bisnis. Sedangkan legal bankruptcy adalah bangkrut secara hukum, terjadi bila telah diajukan tuntutan secara resmi sesuai undang–undang. Kondisi kesulitan keuangan (financial distress) yang terjadi pada perusahaan, jika dibiarkan maka lambat laun akan mengakibatkan kebangkrutan perusahaan.
Pada dasarnya kebangkrutan adalah kesulitan likuiditas yang sangat parah sehingga perusahaan tidak mampu menjalankan operasi dengan baik. Sistem peringatan untuk mengantisipasi adanya financial distress perlu dikembangkan karena dapat digunakan sebagai sarana untuk mengidentifikasi bahkan untuk memperbaiki kondisi sebelum sampai pada kebangkrutan ( Almilia dan Kristijadi, 2003).
Kebangkrutan perusahaan dapat mempengaruhi pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam perusahaan termasuk para pemegang saham, pemasok, kreditur pelanggan, karyawan dan manajemen perusahaan itu sendiri, dalam insiden kebangkrutan perusahaan khususnya pada perusahaan yang mempekerjakan banyak orang dapat secara signifikan mempengaruhi mata pencaharian banyak orang dan perekonomian di mana perusahaan tersebut berlokasi. Pemegang saham dan investor dapat menderita kerugian ekonomi yang besar karena mereka adalah pihak terakhir yang berkepentingan untuk melunasi dalam masalah likuiditas perusahaan (Yap et.al 2012:232 dalam Aisyah 2013).
Tentu saja permasalahan keuangan sedapat mungkin diusahakan untuk dihindari oleh semua perusahaan. Akibat terburuk yang muncul dari permasalahan keuangan yang dialami perusahaan adalah perusahaan dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan di negara setempat. Kepailitan (failure) sendiri di Indonesia telah diatur dalam UU.No.1 tahun 1998 tentang kepailitan, yang isinya menyebutkan debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak dapat membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan tida dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonan sendiri, maupun atas permintaan lima orang atau lebih krediturnya. Permohonan ini juga dapat diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.
Adanya ancaman–ancaman masalah tersebut, membuat para manajer harus berpikir keras mengenai strategi untuk mengantisipasi kondisi–kondisi yang menyebabkan terjadinya permasalahan keuangan yang mungkin menyerang perusahaan (Agusti, 2013).
Menurut Schendel Et. Al (1976, dalam Candrawati 2008), strategi perusahaan untuk mengatasi financial distress tidak akan mudah begitu saja diimplementasikan tanpa mengetahui faktor penyebabnya. Respons yang dapat diambil oleh perusahaan antara lain memperbaiki kontrol internal perusahaan, mengurangi skala dan skope (ruang lingkup) operasi atau penggantian top management. Perusahaan perlu mengetahui dengan tepat penyebab penurunan sehingga dapat memilih strategi yang tepat.
Mengenai financial distress, perusahaan di Indonesia dinilai sebagai perusahaan yang cukup rentan terhadap kondisi financial distress. Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan salah satu negara yang mudah terpengaruh dengan kondisi perekonomian dunia.
Kondisi perekonomian dunia yang terus melambat juga berdampak pada Indonesia. Perekonomian dunia dirasa telah menimbulkan kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian nasional terutama kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya dan untuk mempertahankan kelangsungan usahanya. Kondisi perekonomian yang mengalami perubahan telah banyak mempengaruhi kinerja peusahaan baik perusahaan kecil maupun perusahaan besar. Kondisi ini akan membuat perusahaan di Indonesia berada pada kondisi financial distress.
Data dari BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2012 tumbuh sebesar 6,23 % dibandingkan dengan tahun 2011. Pertumbuhan terjadi pada semua sektor ekonomi, dengan pertumbuhan tertinggi di sektor Pengangkutan dan Komunikasi 9.89% dan terendah di Sektor Pertambangan dan Penggalian sebesar 1, 49%.
Padahal, Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam dan mineral. Sejak lama Indonesia sebagai penghasil sumber daya alam salah satunya adalah batubara. Selain itu Indonesia juga merupakan penghasil batubara terbesar didunia yang kualitasnya sudah diakui. Sektor pertambangan memang merupakan sektor yang high capital dan high technology, sehingga tidak heran jika sektor ini rentan terhadap resiko yang tinggi atau bisa dikatakan bahwa sektor pertambangan merupakan sektor yang high risk.
  Beberapa permasalahan industri pertambangan yang muncul belakangan ini menyebabkan sektor ini berada pada kondisi yang dilematis terkait dengan permasalahan  sosial, politis, perundangan hingga Pertambangan Tanpa Izin (PETI).  Dewasa ini, pasar komoditi logam dan mineral dunia sedang mengalami “booming” harga dan “unpredicted conditions” sementara aktivitas eksplorasi dan investasi juga meningkat. Tetapi Indonesia masih belum mampu memanfaatkan kondisi yang “menarik” ini secara optimal. Kendala ini menyebabkan terhambatnya optimalisasi kontribusi sektor pertambangan dalam mendorong perekonomian nasional (sumber : www.esdm.com).

Gambar 1.1
E fek Krisis Pada Indikator Makroekonomi
Sumber : LM-FEUI
Gambar 1.1 menjelaskan elastisitas beberapa sektor ekonomi terhadap goncangan ekonomi atau krisis. Pada akhir 1990-an, krisis moneter menghantam pertumbuhan ekonomi (warna biru muda). Pertumbuhannya drastis menjadi negatif. Sektor manufaktur (warna biru tua) dan pertambangan (warna merah) juga elastis. Pertumbuhan kedua sektor ini tidak saja menurun tetapi juga menjadi tidak stabil. Penurunan yang terjadi pada sektor pertambangan, ditunjukan dengan adanya fluktuasi harga komoditas. Gambar 1.2 dan Gambar 1.3memperlihatkan trend harga pertambangan dunia. Fluktuasi harga minyak mentah mempengaruhi fluktuasi harga batubara dan pertambangan lainnya, seperti tembaga.
Gambar 1.2
Tren Harga Migas dan Batubara Dunia
 
G ambar 1.3
Tren Harga Minyak dan Pertambangan Nonmigas


Data dari Laporan Keuangan Bank Indonesia tahun 2012 juga menyatakan bahwa terjadi penurunan pertumbuhan pada subsektor nonmigas. Penurunan ini terjadi pada periode perlambatan ekspor, yaitu pada semester kedua. Secara volume, produksi batubara nasional juga mengalami penurunan. Pada tahun 2011 volume produksi batubara nasional sebesar 28,3% dan pada tahun 2012 volume produksi batubara nasional menjadi 9,3%, sehingga terjadi penurunan volume produksi batubara nasional sebesar 19%. Penurunan produksi batubara terjadi akibat permintaan ekspor yang melemah sedangkan permintaan dari pasar dalam negeri untuk pembangkit PLN dan industri masih terbatas.
Untuk kelompok pertambangan, penurunan ekspor terjadi terutama terjadi pada komoditas batubara, biji tembaga, bauksit dan granit. Nilai ekspor batubara yang merupakan komoditas ekspor utama, dengan pangsa pasar sebesar 17,2 %, turun dibandingkan dengan periode tahun lalu akibat merosotnya harga batubara di pasar internasional, meskipun secara volume masih mengalami peningkatan.
Gambar 1.4
  Pertumbuhan Ekspor Nonmigas menurut Komoditas

Sumber : Laporan Keuangan Bank Indonesia Tahun (2012)
Selama tahun 2008–2011, peningkatan volume ekspor batubara sejalan dengan kenaikan harga di pasar internasional namun kondisi tersebut berbanding terbalik pada tahun 2012, ekspor tetap tinggi namun harga batubara mengalami penurunan. Pada awal tahun 2012 dan berlanjut sampai awal tahun 2013 terjadi penurunan harga batubara hingga mencapai level US$ 84,15 perton atau mencapai 31% sehingga membuat perusahaan–perusahaan batubara menderita kerugian. Rendahnya harga jual batubara tidak dapat menutupi biaya operasional perusahaan. Kerugian tersebut dapat terjadi karena biaya operasional yang tinggi tidak dapat menyesuaikan dengan harga jual batubara (Sumber :www.esdm.com). Hal ini membuat perusahaan-perusahaan pada sektor pertambangan mengalami kerugian yang cukup besar. Apabila masalah ini dibiarkan begitu saja, maka tidak menutup kemungkinan perusahaan-perusahaan pada sektor pertambangan berada pada kondisi kesulitan keuangan atau financial distress.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hay semua, kalau misal aku late respond dan kalian butuh jawaban aku segera. kalian bisa DM aku ya di @veronica_untik

NIKAH NGGAK PAKAI WEDDING ORGANIZER ?, WHY NOT ?

Mungkin buat beberapa orang bakalan milih pake WO alias Wedding Organizer alias Wedding Planner kali ya buat urusin acara nikahan ki...