BAB
I
PENDAHULUAN
-
Latar Belakang Masalah
Pada
dasarnya,
suatu
perusahaan didirikan pasti dilandasi
oleh
tujuan yang jelas, diantaranya adalah mencapai keuntungan yang
maksimal atau laba yang sebesar-besarnya, memakmurkan pemilik
perusahaan dan pemilik saham dan memaksimalkan nilai perusahaan yang
tercermin dari nilai sahamnya.
Selain
itu, perusahaan didirikan juga tidak lepas dari harapan pemilik bahwa
perusahaan akan tetap eksis dalam jangka waktu yang lama. Sayangnya,
posisi perusahaan tidak akan terus menerus aman pada posisi yang
diinginkan. Ada kalanya sebuah perusahaan akan berada pada fase
financial
distress
(kesulitan
keuangan)
dan
kemudian berada pada fase default
(kebangkrutan).
Dalam
siklus hidup perusahaan, penurunan kinerja keuangan dapat terjadi
karena faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang
bisa mempengaruhi penurunan kinerja keuangan suatu perusahaan adalah
kondisi ekonomi makro misalnya
suku bunga tinggi, inflasi tinggi, fluktuasi nilai tukar yang tinggi,
dan lain sebagainya. Sedangkan faktor internal yang bisa mempengaruhi
penurunan kinerja keuangan suatu perusahaan di antaranya adalah
ketidakefektifan manajerial dalam mengelola perusahaan.
Ketidakefektifan ini akan berdampak pada penurunan kinerja keuangan
yang akan mengakibatkan kesulitan keuangan.
Perusahaan
pasti mempunyai kemungkinan untuk mengalami kesulitan dan besaran
kemungkinan tersebut tergantung pada kebijakan yang diambil para
pengambil keputusan dan lingkungan perusahaan yang mendukung
perusahaan menuju kesulitan keuangan. Perusahaan yang mengalami
kesulitan keuangan tidak langsung
menuju situasi tersebut tetapi dimulai dari beberapa hal kecil
sehingga menuju pada situasi kesulitan keuangan. Masuknya perusahaan
ke dalam situasi kesulitan keuangan dimulai adanya pengelolaan yang
lemah terhadap perusahaan (poor
management).
Salah satu bentuk pengelolaan yang lemah yaitu arus kas perusahaan
yang tidak terurus dengan rapi. Grambel (2004,
dalam Manurung
2012:96-97)
menyatakan bahwa arus kas perusahaan mempunyai pengaruh yang besar
terhadap terjadinya kegagalan perusahaan.
Kesulitan
keuangan atau financial
distress
pada perusahaan terjadi ketika perusahaan tidak dapat memenuhi jadwal
pembayaran atau ketika proyeksi arus kas mengindikasikan bahwa
perusahaan tersebut akan segera tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Perusahaan yang
mengalami kesulitan
keuangan
ditandai
dengan kerugian, hampir kehabisan tunai, memiliki kewajiban–kewajiban
yang harus dibayar seperti gaji, biaya bunga pinjaman, biaya
operasional rutin, dan biaya–biaya tetap lainnya, dililit hutang,
karyawan berseteru dengan top
management,
mulai ditinggalkan pelanggan karena kualitas layanan yang sangat
buruk, mengalami penurunan dalam pertumbuhan, kemampulabaan, dan aset
tetap, serta peningkatan dalam tingkatan persediaan relatif terhadap
perusahaan yang sehat, melemahnya kondisi keuangan, kreditur yang
mulai mengambil tindakan, pemasok yang mungkin tak mengirim bahan
baku secara kredit, investasi modal yang menguntungkan dan mungkin
harus dilepas, dan pembayaran dividen yang terganggu (Fachrudin,
2008).
Terdapat
lima tipe kesulitan keuangan menurut Brigham dan Gapenski (1997,
dalam
Fachrudin 2008),
yaitu
economic
failure, business failure, technical insolvency, insolvency in
bankruptcy,
dan legal
bankcruptcy.
Economic
failure
berarti perusahaan tidak dapat menutupi jumlah biaya, termasuk biaya
modalnya. Business
failure
terjadi bila bisnis menghentikan operasi dengan akibat kerugian ke
kreditur. Technical
insolvency
(equity
insolvency
menurut istilah Altman, 1983) adalah ketidakmampuan memenuhi
kewajiban lancar ketika jatuh tempo, menunjukkan kekurangan
likuiditas secara temporer. Pada kasus
Technical
insolvency,
biasanya kreditur mau membantu melalui restrukturisasi hutang.
Insolvency
in bankruptcy
(bankruptcy
insolvency
menurut istilah Altman, 1983) tergambar dari nilai buku hutang yang
melebihi nilai pasar aset. Masalah Insolvency
in bankruptcy
ini bersifat permanen dan mengarah pada likuidasi bisnis. Sedangkan
legal
bankruptcy
adalah bangkrut secara hukum, terjadi bila telah diajukan tuntutan
secara resmi sesuai undang–undang. Kondisi
kesulitan keuangan (financial
distress) yang
terjadi
pada
perusahaan, jika dibiarkan maka lambat laun akan mengakibatkan
kebangkrutan perusahaan.
Pada
dasarnya kebangkrutan adalah kesulitan likuiditas yang sangat parah
sehingga perusahaan tidak mampu menjalankan operasi dengan baik.
Sistem
peringatan untuk mengantisipasi adanya financial
distress
perlu
dikembangkan karena dapat digunakan sebagai sarana untuk
mengidentifikasi bahkan untuk memperbaiki kondisi sebelum
sampai pada kebangkrutan ( Almilia
dan Kristijadi, 2003).
Kebangkrutan
perusahaan dapat mempengaruhi pihak-pihak yang memiliki kepentingan
dalam perusahaan termasuk para pemegang saham, pemasok, kreditur
pelanggan, karyawan dan manajemen perusahaan itu sendiri,
dalam
insiden kebangkrutan perusahaan khususnya pada perusahaan yang
mempekerjakan banyak orang dapat secara signifikan mempengaruhi mata
pencaharian banyak orang dan perekonomian di mana perusahaan tersebut
berlokasi. Pemegang saham dan investor dapat menderita kerugian
ekonomi yang besar karena mereka adalah pihak terakhir yang
berkepentingan untuk melunasi dalam masalah likuiditas perusahaan
(Yap et.al
2012:232
dalam Aisyah 2013).
Tentu
saja permasalahan keuangan sedapat mungkin diusahakan untuk dihindari
oleh semua perusahaan. Akibat terburuk yang muncul dari permasalahan
keuangan yang dialami perusahaan adalah perusahaan dapat dinyatakan
pailit oleh pengadilan di negara
setempat. Kepailitan (failure)
sendiri di Indonesia telah diatur dalam UU.No.1 tahun 1998 tentang
kepailitan, yang isinya menyebutkan debitur yang mempunyai dua atau
lebih kreditur dan tidak dapat membayar sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan tida dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonan sendiri,
maupun atas permintaan lima orang atau lebih krediturnya. Permohonan
ini juga dapat diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.
Adanya
ancaman–ancaman masalah tersebut,
membuat
para manajer harus berpikir keras mengenai strategi untuk
mengantisipasi kondisi–kondisi yang menyebabkan terjadinya
permasalahan keuangan yang mungkin menyerang perusahaan (Agusti,
2013).
Menurut
Schendel Et. Al (1976,
dalam
Candrawati
2008),
strategi
perusahaan untuk mengatasi financial
distress
tidak akan mudah begitu saja diimplementasikan tanpa mengetahui
faktor penyebabnya. Respons
yang dapat diambil oleh
perusahaan
antara lain memperbaiki kontrol internal perusahaan, mengurangi skala
dan
skope
(ruang lingkup) operasi atau penggantian top
management.
Perusahaan perlu mengetahui dengan tepat penyebab penurunan sehingga
dapat memilih strategi yang tepat.
Mengenai
financial
distress,
perusahaan di Indonesia dinilai sebagai perusahaan yang cukup rentan
terhadap kondisi financial
distress.
Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan salah satu negara yang
mudah terpengaruh dengan kondisi perekonomian dunia.
Kondisi
perekonomian dunia yang terus melambat juga berdampak pada
Indonesia. Perekonomian dunia dirasa telah menimbulkan kesulitan yang
sangat besar terhadap perekonomian nasional terutama kemampuan dunia
usaha dalam mengembangkan usahanya dan untuk mempertahankan
kelangsungan usahanya. Kondisi perekonomian yang mengalami perubahan
telah banyak mempengaruhi kinerja peusahaan baik perusahaan kecil
maupun perusahaan besar. Kondisi ini akan membuat perusahaan di
Indonesia berada pada kondisi financial
distress.
Data
dari BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)
pada tahun 2012 tumbuh sebesar 6,23 % dibandingkan dengan tahun 2011.
Pertumbuhan terjadi pada semua sektor ekonomi, dengan pertumbuhan
tertinggi di sektor Pengangkutan dan Komunikasi 9.89% dan terendah
di Sektor Pertambangan dan Penggalian sebesar 1, 49%.
Padahal,
Indonesia
merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber
daya
alam dan mineral. Sejak lama Indonesia sebagai penghasil sumber
daya
alam salah satunya adalah batubara. Selain itu Indonesia juga
merupakan penghasil batubara terbesar didunia yang kualitasnya sudah
diakui. Sektor pertambangan memang merupakan sektor yang high
capital
dan high
technology,
sehingga tidak heran jika sektor ini rentan terhadap resiko yang
tinggi atau bisa dikatakan bahwa sektor pertambangan merupakan sektor
yang high
risk.
Beberapa
permasalahan industri pertambangan yang muncul belakangan ini
menyebabkan sektor ini berada pada kondisi yang dilematis terkait
dengan permasalahan sosial, politis, perundangan hingga
Pertambangan Tanpa Izin (PETI). Dewasa ini, pasar komoditi
logam dan mineral dunia sedang mengalami “booming”
harga dan “unpredicted
conditions”
sementara aktivitas eksplorasi dan investasi juga meningkat. Tetapi
Indonesia masih belum mampu memanfaatkan kondisi yang “menarik”
ini secara optimal. Kendala ini menyebabkan terhambatnya optimalisasi
kontribusi sektor pertambangan dalam mendorong perekonomian nasional
(sumber : www.esdm.com).
Gambar
1.1
E
fek
Krisis Pada Indikator Makroekonomi
Sumber
: LM-FEUI
Gambar
1.1 menjelaskan elastisitas beberapa sektor ekonomi terhadap
goncangan ekonomi atau krisis. Pada akhir 1990-an, krisis moneter
menghantam pertumbuhan ekonomi (warna biru muda). Pertumbuhannya
drastis menjadi negatif. Sektor manufaktur (warna biru tua) dan
pertambangan (warna merah) juga elastis. Pertumbuhan kedua sektor ini
tidak saja menurun tetapi juga menjadi tidak stabil. Penurunan yang
terjadi pada sektor pertambangan, ditunjukan dengan adanya fluktuasi
harga komoditas. Gambar 1.2 dan Gambar 1.3memperlihatkan trend harga
pertambangan dunia. Fluktuasi harga minyak mentah mempengaruhi
fluktuasi harga batubara dan pertambangan lainnya, seperti tembaga.
Gambar
1.2
Tren
Harga Migas dan Batubara Dunia
G
ambar
1.3
Tren Harga Minyak dan
Pertambangan Nonmigas
Data
dari Laporan Keuangan Bank Indonesia tahun 2012 juga menyatakan bahwa
terjadi penurunan pertumbuhan pada subsektor nonmigas. Penurunan ini
terjadi pada periode perlambatan ekspor, yaitu pada semester kedua.
Secara volume,
produksi
batubara nasional juga mengalami penurunan. Pada tahun 2011 volume
produksi batubara nasional sebesar 28,3% dan pada tahun 2012 volume
produksi batubara nasional menjadi 9,3%, sehingga terjadi penurunan
volume produksi batubara nasional sebesar 19%. Penurunan
produksi batubara terjadi akibat permintaan ekspor yang melemah
sedangkan permintaan dari pasar dalam negeri untuk pembangkit PLN dan
industri masih terbatas.
Untuk
kelompok pertambangan, penurunan ekspor terjadi terutama terjadi pada
komoditas batubara, biji tembaga, bauksit dan granit. Nilai ekspor
batubara yang merupakan komoditas ekspor utama, dengan pangsa pasar
sebesar 17,2 %, turun dibandingkan dengan periode tahun lalu akibat
merosotnya harga batubara di pasar internasional, meskipun secara
volume masih mengalami peningkatan.
Gambar
1.4
Pertumbuhan
Ekspor Nonmigas menurut Komoditas
Sumber : Laporan Keuangan Bank
Indonesia Tahun (2012)
Selama
tahun 2008–2011, peningkatan volume ekspor batubara sejalan dengan
kenaikan harga di pasar internasional namun kondisi tersebut
berbanding terbalik pada tahun 2012, ekspor tetap tinggi namun harga
batubara mengalami penurunan.
Pada
awal tahun 2012 dan berlanjut sampai awal tahun 2013 terjadi
penurunan harga batubara hingga mencapai level US$ 84,15 perton atau
mencapai 31% sehingga membuat perusahaan–perusahaan batubara
menderita kerugian. Rendahnya harga jual batubara tidak dapat
menutupi biaya operasional perusahaan. Kerugian tersebut dapat
terjadi karena biaya operasional yang tinggi tidak dapat menyesuaikan
dengan harga jual batubara (Sumber :www.esdm.com). Hal ini membuat
perusahaan-perusahaan pada sektor pertambangan mengalami kerugian
yang cukup besar. Apabila masalah ini dibiarkan begitu saja, maka
tidak menutup kemungkinan perusahaan-perusahaan pada sektor
pertambangan berada pada kondisi kesulitan keuangan atau financial
distress.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hay semua, kalau misal aku late respond dan kalian butuh jawaban aku segera. kalian bisa DM aku ya di @veronica_untik